Agama Kristen
Penyebaran Injil atau Zending sudah
memasuki Indonesia pada masa pendudukan Portugis di kepulauan Maluku
(1512-1605) ditandai dengan menetapnya beberapa misionaris Yesuit (Katolik
Roma) di Ternate, pada tahun 1522.
Penakluk VOC (Verenigde OosIndicshe
Compagine) terhadap Portugis di Maluku pada tahun 1605 memulai babak baru
Pekabaran Injil oleh Gereja Protestan. Akan tetapi, awal abad ke-19 tetap
dicatat sebagi masa-masa bersejarah Penyebaran Injil di Indonesia, dengan
bekerjanya sejumlah organisasi Zending oleh Gereja-gereja Protestan dari
Belanda dan Jerman (baca : Pekabaran Injil di Indonesia).
Organisasi Pekabaran Injil Belanda
yang sudah melakukan misinya di Indonesia adalah Nederlandse Zendeling
Genootschap (NZG), dimulai selama Belanda di bawah kekuasaan Perancis
(1795-1813) dan Indonesia di bawah pemerintahan sementara Inggris (Gubenur
Jenderal Refles (1811-1816). Perhimpunan Belanda lainnya yang menyusul adalah
Nederlandse Zendingsvereniging (NZV),
Utrechtse Zendingsvereniging (UZV), sedangkan
dari Jerman adalah Rheinische Missinsgesekkschaft (RM). Biasanya pekabaran
Injil dilakukan tersebar di koloni-koloni pemerintah Belanda di sejumlah pulau
di Indonesia, antara lain di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Irian,
Halmahera, Buru, Poso, Sangir, dan Talaud.
Ketika pekabaran Injil sudah
dilakukan secara sistematis di sejumlah daerah di Indonesia tidak demikian
halnya di Tanah Batak (Utara). Kawasan ini masih sangat tertutup seperti
dikelilingi kabut misteri. Suku Batak Toba yang mendiaminya tetap asyik dengan
kehidupan sosial yang dicengkeram agama suku, masih pele begu, peradaban yang
cenderung primitif karena hidup dalam permusuhan, perbudakan, penculikan,
perampokan, perjudian,dan kanibalisme. Maka istilah “Jangan coba-coba mendekati
orang Batak” memaksa Burton dan Ward menarik langkah mereka mundur dari
Tanah Batak saat berkunjung Juli 1824. Burton dan Ward adalah utusan Babtist
Church of England, tercatat sebagai misionaris pertama yang mengunjungi Tanah
Batak.
Setelah kunjungan Burton dan Ward,
ditaksir pada tahun 1825, pasukan Padri dan Bonjol, Minagkabau yang dipimpin
Tuanku Rao menyerang Tanah Batak. Serangan mendadak berkekuatan 15.000 pasukan
berkuda membasmi lebih dari separuh komunitas Batak Toba, peristiwa genocide (pembantaian
suku) yang sangat mengerikan dalam sejarah Batak. Sebagian korban meninggal
diakibatkan epidemi ganas yang berasal dari bangkai binatang peliharaan dan
mayat-mayat yang tidak sempat dikubur.
Penyerangan Padri menimbulkan trauma
di kalangan suku Batak Toba dan sangat menaruh curiga pada setiap pendatang.
Bisa jadi sikap itulah yang diperlihatkan peristiwa Samuel Munson dan Henry
Lyman yang mati martir di Sisangkak (sekarang masuk Kecamatan Adiankoting) 28
Juli 1834. Dua misionaris utusan Gereja Amerika dibunuh Raja Panggalamei. Mayat
mereka di pertontonkan di sebuah pekan di Lobupining, tidak jauh dari
Sisangkak, sebagai tanda kemenangan. Konon, mayat kedua martir itu dimakan
hingga tinggal kerangka.
Mundurnya Burton Ward serta tewasnya
Munson-Lyman menjadi alasan pembenaran bagi pemeritah Hindia Belanda melarang
para misionaris memasuki Tanah Batak. Belanda sendiri sudah menguasai Sumatera
Barat dan Tanah Batak Bagian selatan (Mandailing dan Angkola) setelah berhasil
menaklukkan pasukan Padri dalam perang yang disebut Padri Oorlog (perang Padri)
pada tahun 1837. Pada tahun itu juga Belanda telah menarik garis-garis
perbatasan antara daerah-daerah Batak yang mereka kuasai dengan daerah Batak
yang belum dikuasai. Daerah Batak yang diuasai Belanda adalah pantai Barus,
Natal, Mandailing, Barumun, Sosa, Padang, Batak Angkola, dan Sisirok.
Daerah-daerah itu disebut Keresidenan Tapanuli dipimpin seorang residen
berkedudukan di Sibolga. Sedangkan daerah Batak yang belum dikuasai Belanda
disebut “Daerah Batak Merdeka” (De Onafhankelijke Bataklanden) terdiri
dari kawasan yang didiami Batak Toba, yaitu Silindung, Humbang, Toba, dan
Samosir.
Misionaris Ermelo
Secara umum Pekabaran Injil di dunia
adalah mengkuti pembukaan segala benua melalui gerakan imperialisme dan
kolonialisme. Maka, tak heran apabila mesionaris perintis di Tanah Batak
tertahan di Sipirok dan Angkola yang sudah masuk dalam penaklukan Belanda,
belum masuk ke Tanah Batak sebelum daerah itu betul-betul masuk dalam kekuasaan
Belanda .
Setelah Burton-Ward dan
Munson-Lyman, misionaris perintis lain yang menyusul adalah Gerrit van Asselt.
Dia diutus Ds Wetteven dari kota Ermello, Belanda, tiba di Sumatra Mei 1856 dan
berpos di Sipirok ,1857. Organisasi yang megirimkan Gerrit van Asselt sangat
kecil, bahkan dalam buku Sejarah Gereja, karangan Dr.H .Berkog dan Dr. IH
Enklar sama sekali tidak disebut-sebut. Ada yang mencatat Zending Ermello
berada di bawah naungan Nederlandse Zendingsvereniging (NZV). Akan tetapi,
karena NZV baru berdiri pada tahun 1856, besar kemungkinan Zending Ermello
berada di bawah naungan Nederandse Zending-Genootschap (NZG) yang berdiri pada
tahun 1797, sebuah organisasi Zending dari mana NZV berasal.
Karena ketiadaan dana Gerrit van
Asselt pun membiayai sendiri tugas–tugasnya sebagai penginjil. Hasilnya tentu
tidak maksimal karena konsentrasinya terbagi sebagai opzichter (pelaksana)
pembangunan jalan di Sibolga dan kemudian menjadi opzichter (administrator)
gudang kopi milik Belanda di sipirok. Zending Ermelo mengirimkan lagi beberapa misionaris
mendaampingi Gerrit van Asselt, yaitu FG Betz, Dammerboer, Koster, dan van
Dallen. Misionaris menyusul ini bekerja sebagai tukang, mengingatkan model
Pekabaran Injil yang dilakukan Ds. OG Heldring di Irian, Sangir dan Talaud.
Koster dan van Dalen ditempatkan di
Pargarutan. Van Dallen kemudian pindah ke Simapilapil. Dammerbooer jadi
opzichter di sekolah Belanda sebelum ke Huta Rimbaru dan masuk ke Mission Java
Komite. Gerrit van Asselt sendiri pada 31 Maret 1961 membaptis orang Batak
Kristen pertama, Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon di Sipirok.
Misionaris Utasan Rheinische
Missionsgesellschaft
Semangat Pekabran Injil de Eropah
tak lagi tergantung pada kerjasama suatu Gereja dengan pemerintahnya yang
melakukan kolinialisasi ke berbagai benua. Di Jerman, di tepi sungai Zending.
Rheinische Missionsgesellschaft (RM) yang berdiri pada tahun 1818 mengutus
misionaris ke daratan luas dan suku-suku bangsa besar di Afrika dan Tiongkok,
termasuk ke Indonesia yang berada di bawah penguasaan Belanda.
Di Indonesia, RM pertama sekali
mengkosentrasikan perkerjaannya di Kalimantan Tenggara sejak tahun 1836. Pada
tahun 1859 meletus Perang Banjar yang dipimpin Pangeran Hidayat. Perang
tersebut menelan banyak korban tewas-termasuk 4 pendeta, 3 istri, dan 2 anak Mereka.
RM terpaksa mengundurkan Pekabaran Injil di sana lalu memindahkannya ke Tanah
Batak (1861), Nias (1865), Mentawai (1901), dan Enggano (1903), Pekabaran Injil
yang ditinggalkan RMG di Kalimantan Tenggara diteruskan Basler Mission Dari
Swiss.
Pemindahan Zendeling dari Kalimantan
ke Tanah Batak terkait dengan penugasan pimpinan RM, Inspektur Dr.Friedrich
Fabri kepada misionaris yang tertahan di Batavia akibat Perang Banjar, pada
tahun 1860. Ketika itu Febri berkunjung ke Amsterdam, Belanda. Dia sangat tertarik
pada dokumen van der Took mengenai suku Batak Toba yang ditelitinya pada tahun
1849. Fabri mengutus Hoefen mengunjungi Tanah Batak, dan berdasarkan laporan
Hoefen RM menugaskan dua misionaris, Klammer yang bertahan di Batavia dan Heine
yang langsung didatangkan dari Barmen, ke Tanah Batak. Keduanya tiba di Sibolga
17 Agustus 1961 dan memilih Sipirok sebagai pos utama. Heine dan Klammer
tinggal melapor ke residen Tapanuli di Sibolga karena Fabri sudah lebih dahulu
meminta izin atas penugasan kedua misionaris itu ke pemerintahan Belanda.
Dengan demikian telah bertugas
misionaris Sending Emelo dan RM di perbatasan Tanah Batak Utara dan Tanah Batak
Selatan. Karena Pekabaran Injil bersifat supra nasional, atas koordinasi
Zending Emelo dan RM, Betz dan van Asset bergabung dengan Heine dan Klammer di
bawah naungan RM. Keempat misionaris itu melakukan rapat pembagian tugas pada 7
Oktober 1861. Bentz mendapat tugas di tempat pelayanan yang telah dia buka
sebelumnya, yaitu Bungabondar, Klammer di Sipirok, sedangkan Heine dan van
Asselt di Pangaloan. Tanggal pembagian tugas inilah yang kemudian dicatat
sebagai hari jadi atau lahirnya HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).
Missionaris Nommensen
Ingwer Ludwig Nommensen (1834-1918)
merupakan tokoh sentral Pekabaran Injil di Tanah Batak. Dialah yang kemudian
dijuluki sebagai “Rasul Batak” yang menjadikan suku Batak Toba menjadi
suku bangsa maju.
Dia menginjakkan kaki di Barus Juni
1862, ditempatkan oleh rekan-rekan pendahulunya di Parausorat Desember 1862,
lalu menginjakkan kaki di Silindung November 1863. Pekerjaan di perbatasan,
menurutnya tidak memadai karena dominan penduduknya sudah memeluk agama Islam.
Tak ada cara lain kecuali memasuki Tanah Batak, Silindung adalah pilihan utama
karena jumlah penduduknya sangat besar, meskipun ditentang pemerintah Hindia
Belanda, harus ditempuh melalui medan yang berat yaitu hutan belantara yang
penuh marabahaya, serta kemungkinan ditolak bahkan bisa terbunuh.
Dr.H.Berkof dan Dr.IH Enklaar dalam
sejarah Gereja mencatat, ”sungguhpun mula-mula pekerjaannya (pekerjaan
Nommensen) amat susah dan ia sering ditimpa sengsara dan bahaya, tetapi ia
bernubuat: Aku melihat seluruh daerah ini ditaburi dengan gedung-gedung gereja
dan sekolah! Sekarang ramalan itu sudah di genapi, karena oleh strategi Zending
yang cakap, pimpinan yang kuat, pekerja yang banyak dan latihan
pengantar-pengantar jemaat dan guru sekolah dengan secukupnya dari permulaan,
maka lama kelamaan Gereja Kristus di Tanah Batak meluas sampai menjadi Gereja
muda paling besar di dunia.”
Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat
dan Injil membuat tahapan sejarah pengkristenan orang Batak denga merujuk pada
tugas pelayanan Ingwer Ludwig Nommensen dan di mulainya pekabaran Injil oleh
RMG (Rheinische Mission Gesellschaft) di tanah Batak.
1861-1881:
di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh Nommensen dan PH johansen di lembah silindung,dengan sokongan kuat dari penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun 1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881.
di sebut sebagai peletakan dasar-dasar pertama perkabaran Injil oleh Nommensen dan PH johansen di lembah silindung,dengan sokongan kuat dari penguasa lokal Raja Pontas Lumbantobing,di susul dengan penerjemahan kitab-kitab dasar untuk jemaat-jemaat, yakni Katekismus Kecil pada tahun 1874 dan perjanjian baru pada tahun 1878.Tata Gereja yang pengaruhnya paling dalam serta lama karena berlaku sampai tahun 1930, diberlakukan mula-mula pada tahun 1881.
1881-1901:
Nommensen
memindahkan tempat kediamannya ke Toba dan merencanakan serta memimpin sendiri
pekerjaannya. Didirikanlah jemaat-jemaat dalam wilayah yang semakin luas di
daerah-daerah danau Toba dan di tampung golongan-golongan besar, sehingga
terbentuklah suatu gereja suku. Pada tahun 1885 pendeta-pendeta pertama
ditahbiskan. Sampai dengan tahun 1901 sudah 48.000 orang Batak dibaptiskan.
1901-1918:
masih dicirikan oleh prakarsa Nommensen termasuk
melakukan pekabaran Injil ke Batak Simalungun. Di Simalungun pengkristenan
tidak lagi berlangsung begitu sistematis sebagaimana terjadi di kalangan Batak
Toba. Barulah setelah tahun 1940 sebagian besar orang-orang Batak Simalungun
berhasil dikristenkan.
1918-1940:
ditandai dengan pekerjaan J.Warneck sebagai Ephorus
menggantikan Nommensen yang meninggal dunia pada tahun 1918, melalui suatu tata
gereja yang baru membuat Gereja Batak mandiri secara yuridis. (Dalam bukunya
Lothar Schreiner menyebut HKBP dengan Gereja Batak). Barulah pada 1940 HKBP
berhasil mandiri dalam arti yang sebenarnya, yakni ketika para zendeling jerman
diinternir dan sinode memilih seorang pendeta Batak, K.Sirait menjadi ephorus.
1940-1954:
ditandai dengan masa pendudukan Jepang dan masa
revolusi di Indonesia. Pendidikan pendeta dan penyelenggaraan jemaat-jemaat
dilakukan tanpa bantuan dan sokongan luar negeri. Hubungan-hubungan dengan luar
negeri pulih ketika HKBP menjadi anggota yang ikut mendirikan Dewan
Gereja-gereja se-Dunia (1948) dan dengan pengakuan Iman sendiri (1951) memasuki
Federasi Gereja-gereja Lutheran se-Dunia(1952).
1954-hingga buku Gereja dan
Injil,ini diterbitkan pada tahun 1972:
Ditandai dengan didirikannya Universitas Nommensen
(1954) dengan kira-kira 3.000 mahasiswa pada tahun 1971,dan suatu tata gereja
baru (1962) yang dengannya dihapuskan sinode distrik. HKBP juga mengembangkan
usaha pendidikan dan penginjilan dikalangan orang-orang Jawa di Sumatera Timur,
orang-orang Sakai di Riau, dan di Malaysia. Pada permulaan tahun 1960-an HKBP
hampir mempunyai 900.000 anggota di sumatera dan banyak jemaat di pulau lainnya
dan di Singapura.
Dalam perkembangannya HKBP beberapa kali mengalami
peristiwa “ditinggalkan jemaat”, di mulai tahun 1927 dengan berdirinya
Mission Batak, disusul Huria Christen Batak (HCB), Punguan Kristen Batak (PKB),
dan Huria Kristen Indonesia (HKI). Pada tahun 1964 sejumlah anggota keluar dan
menamakan diri Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). Atas kemelut HKBP
yang terjadi pada tahun 1990-an sejumlah anggota juga banyak yang pindah ke
Gereja lain. Menurut Almanak HKBP tahun 2007 HKBP memiliki 3.139 gereja yang
tersebar di Indonesia bahkan di Singapura dan Amerika Serikat. Dengan jumlah
lebih dari 5 juta jemaat HKBP di catat sebagai lembaga keagamaan dengan jumlah
angota terbesar ketiga setelah Nahdatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah.
Kehidupan Nomensen
Berbicara tentang peradaban Batak,
barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig Nommensen tidak pernah
menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia dijuluki
sebagai “Apostel Batak”?
Nommmensen adalah manusia biasa
dengan tekad luar biasa. Perjuangan pendeta kelahiran 6 Februari 1834 di Marsch
Nordstrand, Jerman Utara itu untuk melepaskan animisme dan keterbelakangan dari
peradaban Batak patut mendapatkan penghormatan. Maka tak heran, suatu kali
dalam sidang zending di Barmen, ketika utusan Denmark dan Jerman mengklaim
bahwa Nommensen adalah warga negara mereka, Pendeta Dr. Justin Sihombing yang
hadir waktu itu justru bersikeras mengatakan bahwa Nommensen adalah orang
Batak. Nommensen muda, ketika genap berusia 28 tahun telah hijrah meninggalkan
Nordstrand dan hidup di Tanah Batak hingga akhir hayatnya dalam usia 84 tahun.
Masa mudanya, ia lewati dengan
menjalani pendidikan teologia (1857-1861) di Rheinische Missions-Gesselscha ft
(RMG) Barmen, setelah menerima sidi pada hari Minggu Palmarum 1849, ketika
berusia 15 tahun. Sebenarnya, kedatangan penginjil-penginjil Eropa ke Tanah
Batak pun sudah dimulai sejak 1820-an. Pada 1824 Gereja Baptis Inggris
mengirimkan dua penginjil: Pendeta Burton Ward dan Pendeta Evans yang terlebih
dahulu tiba di Batavia. Pendeta Evans menginjil di Tapanuli Selatan, Pendeta
Burton Ward di wilayah Silindung. Sayangnya, mereka ditolak. Animesme masih
kuat dalam kehidupan suku Batak.
Sepuluh tahun kemudian, dua
penginjil Amerika: Samuel Munson dan Henry Lyman pun tiba di Silindung. Tapi,
mereka malah mendapati ajalnya di sana setelah dibunuh oleh sekelompok orang di
Saksak Lobu Pining, sekitar Tarutung. Pembunuhan dilakukan atas perintah Raja
Panggalamei. Kedua missionaris dimakamkan di Lobu Pining, sekitar 20 kilometer
dari Kota Tarutung, menuju arah Kota Sibolga.
Impian Nommensen untuk menjadi
penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada masa-masa itu ia sudah
terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan orangtuanya yang
tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak
punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang
kaya bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi
gembala upahan hingga umur 10 tahun.
Tapi, rintangan tak luput menghambat
cita-cita mulia itu. Sekali waktu, ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami
kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan temannya dan tertabrak kereta kuda
sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain.
Ketika dokter yang merawatnya
menganjurkan agar kakinya diamputasi, ia menolak dan meminta agar didoakan oleh
ibunya dengan syarat, jika doa itu terkabul maka ia akan memberitakan injil
kepada orang yang belum mengenal Kristus. Tak lama kemudian doa itu terkabul,
ia pun sembuh.
Pada 1853, dengan keputusan yang
matang, berbekal sepatu dan pakaian seadanya, ia pun pergi meninggalkan kampung
halamannya untuk meraih cita-cita dan janjinya itu, yang juga sempat tertunda
karena gagal menjadi kolesi di pelabuhan Wick. Ia kemudian bertemu dengan
Hainsen, mantan gurunya di Boldixum. Hainsen lalu mempekerjakannya sebagai guru
pembantu di Tonderm setelah beberapa waktu menjadi koster. Di sinilah ia
bertemu dengan Pendeta Hausted dan mengungkapkan cita-citanya itu. Ia pun
melamar di Lembaga Pekabaran Injil Rhein atau RMG Barmen.
Nommensen lalu mematangkan pengetahuannya tentang
injil dengan kuliah teologia pada 1857, ketika berusia 23 tahun. Pada masa itu,
pekerjaan sebagai tukang sapu, pekerja kebun dan juru tulis sekolah, turut
disambinya, hingga ia lulus dan ditahbiskan menjadi pendeta pada 13
Oktober1861, yang kemudian membawanya ke Tanah Batak pada 23 Juni 1862.
Dari
Norsdtrand ke Silindung
Nommensen, yang kini tetap dikenang
dan dipanggil dengan gelar kehormatan “Ompu I, Apostel Batak”, dalam
perjalanan misi zendingnya bukanlah tanpa rintangan. Bahkan, dalam beberapa
kali ia pernah akan dibunuh dengan cara menyembelih dan meracunnya. Alasannya,
ia dicurigai sebagai mata-mata “si bottar mata” (stereotip ini ditujukan kepada
Belanda).
Tapi ia tidak takut sebab janjinya
kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata, ”Tidak mungkin,
seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr.
H. N. Van der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab
Belanda untuk mempelajari Bahasa Batak.
Setelah mendapatkan mendapatkan
informasi lebih jauh tentang Batak, maka pada 24 Desember 1861 ia pun berangkat
dengan kapal “Partinax” menuju Sumatra dan tiba di Padang pada 16 Mei
1862. Dari sana ia kemudian meneruskan perjalanannya ke Barus melalui Sibolga.
Di sinilah pertama kali ia bertemu langsung dengan orang Batak kemudian
mempelajari bahasa dan adatnya. Hanya saja, ia tak lama di sana. Selain karena
sudah masukya agama Islam, ia melihat adanya nilai pluraritas antarsuku yang
sudah menyatu di sana: Toba, Angkola, Melayu, Pesisir.
Maka, setelah beberapa bulan tinggal
di sana, ia pun memutuskan untuk pergi ke daerah lain: Sipirok. Lalu, atas
keputusan rapat pendeta yang ke-2 pada 7 Oktober 1862 di Sipirok (setelah
sebelumnya melayani penduduk di Parau Sorat, dan mendirikan gereja yang pertama
di sana), pergilah ia menuju wilayah perkampungan Batak yang dikenal dengan
Silindung.
Di sana, suatu kali di puncak
(dolok) Siatas Barita (sekarang puncak Taman Wisata Rohani Salib Kasih,
Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara), Nommensen pernah hendak dibunuh. Waktu itu
sedang berlangsung ritual penyembahan kepada Sombaon Siatas Barita, ialah roh
alam yang disembah orang Batak. Kerbau pun disembelih. Akan tetapi, pemimpin
ritual (Sibaso) tidak menyukainya dan menyuruh pengikutnya untuk membunuhnya.
Lalu, kata Nommensen kepada mereka, “Roh yang berbicara kepada Sibaso
bukanlah roh Siatas Barita, nenek moyangmu, melainkan roh setan. Nenek moyangmu
tidak mungkin menuntut darah salah satu keturunannya.” Sibaso jatuh
tersungkur dan mereka tidak mengganggunya lagi.
Setelah berhasil menjalin
persahabatan dengan raja-raja yang paling berpengaruh di Silindung: Raja
Amandari dan Raja Pontas Lumban Tobing, maka pada 29 Mei 1864, Nommensen
mendirikan gereja di Huta Dame, sekitar Desa Sait ni Huta, Tarutung. Kemudian
atas tawaran Raja Pontas, maka turut didirikan jemaat di Desa Pearaja, yang
kini menjadi pusat gereja HKBP.
Setelah itu ia pergi ke Humbang dan
tiba di Desa Huta Ginjang. Kemudian pada 1876 ia berangkat ke Toba ditemani
Pendeta Johannsen dan sampai di Balige. Tetapi, akibat situasi yang gawat waktu
itu, ketika pertempuran antara pasukan Sisingamangaraja XII dengan pasukan
Belanda sedang terjadi, mereka pun menangguhkan perjalanan dan kembali ke
Silindung.
Pada 1886 Nommensen kembali ke Toba
(Laguboti dan Sigumpar), setelah pada 1881 Pendeta Kessel dan Pendeta Pilgram tiba
dan berhasil menyebarkan injil di sana. Misi kedua pendeta ini kemudian
dilanjutkan oleh Pendeta Bonn yang telah mendapat restu dari Raja Ompu Tinggi
dan Raja Oppu Timbang yang menyediakan lahan gedung sekolah di Laguboti.
Pendeta Boon pindah dari Sigumpar ke
Pangaloan dan Nommensen menggantikan tugasnya. Sepeninggalan Boon, Nommensen
mendapat rintangan di mana sempat terjadi perdebatan sesama penduduk atas izin
sebidang tanah. Setelah akhirnya mendapat persetujuan dari penduduk, ia pun
mendirikan gereja, sekolah, balai pengobatan, lahan pertanian dan tempat
tinggalnya di sana. Konsep pembangunan satu atap ini disebut dengan “pargodungan”,
yang menjadi karakter setiap pembangunan gereja Protestan di Tanah Batak.
Dari Sigumpar, Nommensen bersama
beberapa pendeta lainnya melanjutkan zending dengan menaiki “solu”
(perahu) melintasi Danau Toba yang dikaguminya menuju Pulau Samosir. Maka, pada
1893 Pendeta J. Warneck pun tiba di Nainggolan, 1898 Pendeta Fiise di Palipi,
1911 Pendeta Lotz di Pangururan dan 1914 Pendeta Bregenstroth di Ambarita.
Misi zending tak berhenti sampai di
sana. Nommensen lalu mengajukan permohonan kepada RMG Barmen agar misinya
diperluas hingga wilayah Simalungun. Permohonan itu ditanggapi dengan mengutus
Pendeta Simon, Pendeta Guillaume dan Pendeta Meisel menuju Sigumpar pada 16
Maret 1903. Dari sana mereka pergi ke Tiga Langgiung, Purba, Sibuha-buhar,
Sirongit, Bangun Purba, Tanjung Morawa, Medan, Deli Tua, Sibolangit dan Bukum.
Bersama Nommensen, mereka pun melanjutkan perjalanan melalui Purba, Raya, Pane,
Dolok Saribu hingga Onan Runggu.
Misi Nommensen memang penuh
pengorbanan. Tapi, ia tulus. Demi misinya, ia bahkan tak sempat melihat
Caroline Gutbrod, yang wafat setelah sebelumnya jatuh sakit dan terpaksa
dipulangkan ke Jerman. Nommensen juga banyak menyisakan kenangan, yang
barangkali menjadi simbol pengorbanan dan jasanya kelak. Kenangan-kenangan itu
ibarat benih, meski sang penabur kelak telah tiada. Barangkali, Gereja Dame
adalah salah satu benih itu, yang ketika penulis berkunjung ke sana, tampak
kondisiya sudah mulai usang tapi masih berfungsi. Gereja kecil itu adalah
gereja yang pertama kali didirikannya ketika menginjakkan kakinya di daerah
Silindung, Tarutung.
Lokasinya di Desa Onan Sitahuru
Saitni Huta, sekitar 2 kilometer ke arah selatan Kota Tarutung, Kabupaten
Tapanuli Utara. Di gereja ini, Nommensen mulai mengajar umatnya dengan teratur.
Selain mengajar Alkitab (termasuk menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke dalam
bahasa Batak), ia juga mengajar pertanian serta mulai menyusun tata pelaksanaan
ibadah gereja dengan teratur.
Onan Sitahuru sendiri, sekitar
1816-1817 merupakan pusat perdagangan terbesar di Tanah Batak karena terdapat
sebuah “hariara” (pohon beringin) di sana. Menurut penuturan warga
setempat, di pohon inilah Nommensen pernah akan dipersembahkan kepada Dewa
Siatas Barita, tapi ia berhasil diselamatkan pembantunya. Pohon berusia 190
tahun itu kini masih dapat ditemui di sana.
Tercatat pula bahwa sejak tahun 1861
telah berdiri gereja-gereja kecil (resort) di Sipirok dan Bunga Bondar atas
misi zending sebelumnya. Kemudian atas Nommensen pada 1862 di Parau Sorat,
Pangaloan, Sigompulon; 1864 di Pearaja; 1867 di Pansur Napitu; 1870 di
Sipoholon, Sibolga, Aek Pasir; 1875 di Simorangkir; 1876 di Bahal Batu; 1881 di
Balige; 1882 di Sipahutar, Lintong ni Huta; 1883 di Muara; 1884 di Laguboti,
1888 di Hutabarat, Sipiongot; 1890 di Sigumpar, Narumonda, Parsambilan,
Parparean; 1893 di Nainggolan; 1894 di Silaitlait; 1897 di Simanosor
Batangtoru; 1898 di Palipi; 1899 di Lumban na Bolon, 1900 di Tampahan, Butar;
1901 di Sitorang; 1902 di Lumban Lobu, Silamosik, Nahornop; 1903 di Paranginan,
Pematang Raya; 1904 di Dolok Sanggul; 1905 di Parmonangan, Sipiak; 1906 di
Parsoburan; 1907 di Pematang Siantar; 1908 di Sidikalang; 1909 di Bonan Dolok,
Tukka; 1910 di Purbasaribu; 1911 di Barus; 1912 di Medan; 1914 di Ambarita dan
1922 di Jakarta.
Sekarang, benih-benih itu telah
berbuah dengan lahirnya gereja-gereja HKBP, GKPI, HKI, GKPS, GBKP dan GKPA,
sebagai buah misi zending inkulturatif, yang tidak melupakan keaslian budaya
setempat dalam pelaksanaan rutinitas ibadah. Atas jasanya itu, RMG kemudian
mengangkat Nommensen menjadai ephorus pada 1881 hingga akhir hayatnya dan
digantikan oleh Pendeta Valentine Kessel (1918-1920). Pada 6 Februari 1904,
ketika genap berusia 70, Universitas Bonn menganugerahinya gelar Doktor Honoris
Causa. Namanya lalu ditabalkan untuk dua universitas HKBP yang ada di Medan dan
Pematangsiantar yang hingga saat ini masih berdiri.
Kemudian, pada Oktober 1993 dibangun
pula Kawasan Wisata Rohani Salib Kasih (KWRSK) di puncak Siatas Barita, di mana
ia pertama kali menginjakkan kakinya di Silindung. Salib sepanjang 31 meter
terpancang di sana, seakan-akan melukiskan kisah karyanya yang agung.
Nommensen wafat pada 23 Mei 1918 dan
dimakamkan di sisi makam istrinya yang kedua Christine Hander dan putrinya
serta missionaris lainnya di Desa Sigumpar, Kecamatan Silaen Kabupaten Toba
Samosir. Sejak 1891 ia telah tinggal di sana hingga akhir hidupnya. Kemudian
pada 29 Juni 1996 Yayasan Pasopar, lembaga yang peduli dengan kelestarian
sejarah kekristenan di Tanah Batak, memugar makamnya dan mengabadikannya
menjadi “Nommensen Memorial”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar