Monumen Si Raja Panggabean selintas terlihat hanyalah sebagai 3 buah sopo dan sebuah tugu bisu yang merupakan "pertanda sejarah" yang megah bagi pomparan marga Panggabean dan obyek wisata yang menarik bagi pendatang dan juga wisatawan-wisatawan luar negeri.
Tetapi tahukah Anda, bahwa "sejarah" lahirnya monumen tersebut tidaklah sesederhana yang kita bayangkan sebagai penerus generasi natua-tua kita? Natua-tua kita telah dengan bersusah-payah mewariskan kepada kita sebuah "pertanda sejarah" yang harus kita pelihara dan teruskan kepada generasi-generasi berikutnya sebagai bagian dari upaya melerstarikan adat-istiadat dan budaya bangsa Batak pada umumnya. Memang, monumem tersebut secara seremonial baru diresmikan pada tahun 1977, tetapi liku-liku proses 'kelahiran'nya sebenarnya telah dimulai sejak srkitar 21 tahun sebelumnya, dengan timbulnya ide atau gagasan yang kemudian semakin dimatangkan.
Pada tahun 1976, saat diadakan Pesta Akbar Pomparan Si Raja Panggabeanse-Indonesia di Gedung Olah Raga Jl. Veteran, Medan, dalam pembicaraan antara para Natua-tua kita di pertemuan tersebut, antara lain telah disepakati tentang perlunya 'diwariskan' sesuatu parningotan bagi generasi muda Panggabean, agar mereka tidak lupa kepada 'akar'nya.
Disepakatilah akan dibangun sebuah Monumen yang trdiri dari sebuah Tugu berbentuk Tunggal Panaluan beserta 3 buah Sopo yang melambangkan kesataun dan persaudaraan Pomparan Si Raja Panggabean Lumbanratus, Raja Panggabean Simorangkir, Raja Panggabean Lumbansiagian. Disamping berbagai upaya pembinaan kesadaran adat-istiadat terhadap generasi muda penerus, rupanya kehadiran sebuah memorial secara fisik juga sangat diperlulan.
Mungkin banyak diantara generasi muda, terutama yang dirantau, yang belum mengetahui bahwa kakak-beradik Panggabean Lumbanratus, Panggabean Simorangkir dan Panggabean Lumbansiagian adalah putera-putera dari Raja Panggabean, yang juga terdiri dari 4 bersaudara yaitu Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, dan Hutatoruan (yang kemudian punya 2 anak Hutapea dan Lumbantobing). Keempat bersaudara ini yang juga biasa disebut 'Si Opat Pusoran', aalah keturunan dari Guru Mangaloksa Hasibuan, anak kedua dari Si Raja Hasibuan, yang datang merantau dari kampungnya di Sigaol Uluan dan bermukim di Marsaitbosi, Siatas Barita. Disini dia kemudian memperistri seorang boru ni Raja Pasaribu yang melahirkan keempat bersaudara 'Si Opat Pusoran' tersebut.
Perlu juga ditambahkan, bahwa dalam kesempatan peretemuan tahun 1976 di Medan itu, untuk pertama kalinya juga telah dikumandangkan lagu Mars Si Raja Panggabean yang merupakam hasil karya Gr. Daulat Panggabean.
Adapun perancangan dan pembangunan monumen tersebut diprakarsai oleh DR. Ing. Hotma Panggabean, dibantu oleh Ir. Arnold Panggabean dan baru pada tanggal 17 Februari 1984, mulai dilakukan pembangunan monumen tersebut dengan pengecoran pondasi tugu Tunggal Panaluan sedalam 4 meter. Tinggi tugu ini sengaja dibuat 18 meter, yang tak lain untuk melambangkan telah berkembangnya pomparan Si Raja Panggabean sampai ke sundut no. 18 (pada masa itu). Seorang seniman pelukis/pengukir khusus telah diminta bantuannya untuk memperindah tugu yang tampak berwibawa tersebut.
Pada tanggal 23 April 1984 pekerjaan dilanjutkan dengan membangun pondasi tiga buah Sopo yang merupakan kelengkapan dari Monumen Si Raja Panggabean. Namun 3 tahun kemudian pembangunan monumen tersebut sempat terhalang/tertunda, disebabkan terjadinya gempa besar di Tarutung dan sekitarnya pada tahun 1987, yang antara lain menyebabkan beberapa tiang Sopo ada yang patah. Walau memakan waktu yang cukup panjang, pelaksanaan tetap dilanjutkan pada tahun 1995 dilakukan lagi perbaikan-perbaikan pada pagar-pagar dan taman disekitar monumen, yang akhirnya mencapai finishing touch pada tahun 1997.
Upacara Peresmian Tugu/Monumen Si Raja Panggabean akhirnya berhasil dilaksanakan dengan sukses pada tanggal 27 Juni 1997 di lokasi Monumen di desa Simarangkir, Tarutung, dengan penandatanganan prasasti oleh Ketua Umum, dilanjutkan dengan acara ibadah/kebaktian dan kata-kata sambutan. Dari situ acara kemudian beralih ke halaman Gereja HKBP Simarangkir, dimana kemudian dilanjutkan lagi dengan pesta akbar berupa Makan Siang/Mambagi Jambar, acara gondang/tortor antara lain Gondang/Tortor ni Hasuhutan, Dongan Tubu (Hutabarat, Hutagalung, Hutatoruan), Hasibuan, Boru/Bere dan ditutup dengan Gondang/Tortor Ni Hula-Hula/Tulang.
Kesuksesan pesta tersebut tidak terlepas dari peranan Panitia Peresmian Monumen Ni Si Raja Panggabean yang diketuai oleh Ketua Umum DR. G. M. Panggabean, dibantu Sekretaris umum J. EI. Panggabean dan pengurus-pengurus lainnya, termasuk Panitia Pelaksana di Bona Pasogit yang dikomandoi oleh Koordinator/Penanggung Jawab KK Mangatas Panggabean, Ketua Drs. S. P. Panggabean dan Sekretaris David Panggabean.
Kemeriahaan suasana di sekitar Monumen baru terasa lagi 5 tahun kemudian, yaitu pada saat dilaksanakan Pesta Akbar Partangiangan Pinompar Ni Si Raja Panggabean se-Indonesia di Kompleks Gereja HKBP Simarangkir pada tahun 2002, yang juga dihadiri oleh tokoh-tokoh dan natua-tua Panggabean dari Jakarta, Medan, Siantar, Sibolga dam kota-kota lainnya. Kepanitiaan pada waktu itu dipimpin oleh Drs. Mauliate Simorangkir, yang juga pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan di Pemda Kabupaten Tapanuli Utara.
Maka kemeriahan dan kebahagiaan akan terpancar lagi 11 tahun kemudian, yaitu pada bulan Juni 2013 mendatang ini, dimana akan dilaksanakan lagi sebuah Pesta Akbar Partangiangan/Doa Syukuran Pomparan Si Raja Panggabean se-Indonesia, yang akan dihadiri oleh ribuan peserta dari berbagai kota di Indonesia. Sebuah pesta yang mencerminkan kebersamaan yang semakin erat antar pomparan ni Si Raja Panggabean.
Dibalik Ketegaran Tugu/Monumen Si Raja PANGGABEAN
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kata Tugu mengandung arti sebagai tiang
besar dan tinggi yang terbuat dari batu, sebagai media untuk
memperingati yang gugur dalam perang,bangunan yang dibangun untuk
memperingati peristiwa penting, peristiwa bersejarah, atau untuk
menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Demikian jugalah
dengan Tugu Si Raja Panggabean yang berdiri tegak di Jalan Raja Marhusa
Panggabean berdekatan dengan Kantor Camat Siatas Barita, Kabupaten
Tapanuli Utara.
Bagi
masyarakat Batak Toba adalah suatu kebanggaan tersendiri apabila bisa
mendirikan Tugu atau pun Monumen nenek moyangnya, karena dengan demikian
kelak keturunan demi keturunan akan mengetahui siapa dan bagaimana
generasi pertama dari keturunan mereka. Masyarakat Batak Toba adalah
masyarakat yang hidup dalam kesehariannya diatur oleh hukum adat yang
sangat baik, karena dari setiap marga ataupun keturunan pasti memiliki
derajat yang berbeda yang menjadikan kehidupan masyarakat menjadi
harmonis.
Marga Panggabean adalah keturunan dari Guru Mangaloksa yang memiliki 4 (empat) keturunan yaitu Marga Hutabarat,
Marga Panggabean yang memiliki keturunan lagi yaitu Panggabean Lumban
Ratus, Simorangkir, Panggabean Lumban Siagian, Marga Hutagalung dan
Hutatoruan yang memiliki keturunan Hutapean dan Lumban Tobing. Dalam
masyarakat Batak Toba nama-nama dari setiap Raja ataupun generasi
pertamalah kelak menjadi marga yang disandang oleh masyrakat Batak Toba.
Dan setiap marga di masyarakat Batak Toba memiliki Kampung Halaman
masing-masing atau yang dikenal dalam istilah “Bona Ni Pinasa”. Marga
Panggabean umumnya menempati daerah di kaki bukit Siatas Barita yang
memiliki bangunan rohani bersejarah yaitu Salib Kasih yang dibangun
untuk menghormati jasa-jasa Missionaris Batak Dr.I.L.NOMENSEN yang telah
menyebarkan Agama Kristen Protestan kepada msyarakat Batak sehingga
msyarakat Batak tidak lagi menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Pada
tanggal 27 Juni 1997, tepat di jalan Raja Marhusa Panggabean, oleh
kesepakatan dari perantau-perantau dan tokoh-tokoh adat Marga Panggabean
yang diwakilkan oleh Bapak GM Panggabean (alm) diresmikanlah sebuah
tugu yang dinamakan Monumen Si Raja Panggabean, yag tingginya kurang
lebih 10-15 meter yang memiliki ukiran-ukiran yang menggambarkan
bagaimana dulu dari setiap generasi-generasi Raja Panggabean tersebut.
Dibelakang bangunan tugu dibangun pula 3 rumah adat batak yang
melambangkan ketiga keturunaN dari Raja Panggabean (Panggabean Lumban
Ratus, Simorangkir dan Panggabean Lumban Siagian) dan juga untuk
mengingatkan tentang falsafah Dalihan Na Tolu (Somba Marhula-hula, Elek marboru, Manat Mardongan Tubu)
Monumen
ini bukan hanya monumen biasa yang dibangun begitu saja tanpa ada makna
dan latar belakangnya. Tugu ini dibangun di Tahun 1992 karena di
tahun-tahun sebelumnya ketiga dari keturunan si Raja Panggabean yaitu
Panggabean Lumban Ratus, Simorangkir, Panggabean Lumban Siagian saling
menikah, misalnya anatara Panggabean lumban siagian dengan Simorangkir,
Panggabean Lumban Ratus dengan Simorangkir dan sebaliknya. Padahal dalam
hukum adat ini adalah perkawinan yang haram karena masih dalam satu
ikatan darah. Hal inilah yang melatarbelangi dibangunnya Tugu Si Raja
Panggabean yang di remiskan di tahun 1992 dengan upacara adat yang besar
dan meriah di acara puncaknya di sembelihlah 7 (ekor) kerbau sebagai
tanda dari peresmian dari Tugu tersebut yang kelak apabila ada lagi
keturunan yang ingin menikah sesama keturunan marga Panggabean harus
menyembelih 7 ekor kerbau dan apabila kelak akan cerai harus menyembelih
7 ekor kerbau juga. Meskipun syarat itu bisa dipenuhi yang jelas kelak
pasangan tersebut akan menemui hal-hal sulit baik untuk rumah tangga
atupun kepada anak cucunya kelak.
Semoga
Tuhan Memberkati!
HORASSS……….
Horasss arga Borasss
BalasHapus